Rabu dini hari, sekitar jam 02.20 saya terbangun, gumpalan asap putih memenuhi ruangan lantai dua memanipulasi pikiran membuatnya berada di alam mimpi. Indra penglihatan mengirim sinyal bahwa ini bukan alam mimpi!
Melihat api menyala dengan garang, panik menyergap.
"Mah ..... Pah ...." dua kata teriakan parau pertama terucap. Api menjalar ke area tangga membuat panik semakin hebat, mengarahkan saya untuk loncat dari jendela atas. Tangan mengepal berusaha memecahkan jendela. Sayup-sayup terdengar teriakan Mama,
"Sini ... turun ... lewat tangga ..." di antara kepulan asap yang menusuk hingga paru-paru, terlihat samar tangan menggapai, tangan Mama.
Kami berdua turun tangga, Papa naik ke atas sambil membawa ember. Panik melanda membuat Papa beberapa kali jatuh dari tangga.
Miki!
Miki, anjing kami masih di atas. Ketakutan membuatnya enggan ikut turun. Sambil membawa ember saya dan Papa kembali ke atas. Miki berhasil turun. Air tumpah dari ember membuat Papa terpeleset tepat ke arah api, ujung rambut dan telinganya terbakar. Api sudah berkobar, memecahkan kaca jendela atas. Percikannya jatuh ke ruang tamu, lantai satu mengenai sofa.
Saya berlari keluar, membuka gembok gerbang sambil teriak kebakaran. Ketika kembali ke rumah, api sudah melalap ruang tamu. Di belakang sana, Mama dan Papa menyelamatkan burung peliharaan. Miki terus menggonggong membuat orang takut masuk rumah. Sambil mengendong Miki, saya lari ke dalam rumah menyuruh mereka keluar.
Api sudah membakar setengah tangga.
Salah satu warga berteriak, mobil! Mobil keluarin!
Papa kembali masuk ke rumah, mengambil kunci motor dan mobil. Motor sudah diangkut warga keluar. Setelah mobil dikeluarkan, Miki saya masukkan ke dalam mobil. Dari jauh, warga mulai mengambil air dari kali, berusaha memadamkan api.
Api mulai mengarah ke tetangga sebelah. Beberapa warga membantu tetangga mengeluarkan barang-barang. Papa langsung naik ke loteng tetangga bawa selang, membasahi dinding tetangga.
Setengah jam kemudian, rombongan mobil pemadam kebakaran datang. Mobil PMI, Ambulance, dan Polisi. Sejam kemudian api berhasil dipadamkan. Menyisakan genangan air di dalam rumah.
Saya berada di samping Mama terus, memegang erat pundaknya, sesekali mengelus. Kami duduk di teras tetangga sambil menyaksikan orang lalu lalang memasuki rumah kami.
Bude dan sepupu saya datang, entah mereka dapat kabar darimana, langsung menghampiri kami berdua. Tak lama, sepupu saya, Ocha menarik saya untuk pergi. Saya tinggalkan Mama dengan Bude. Kami pergi ke Indomaret, untunglah ada yang buka 24 jam, membeli minum, vitamin, dan sendal jepit. Baru tersadar bahwa kami bertiga keluar rumah tanpa alas kaki.
Jam 4 pagi, api sudah padam. Kami masih dilarang masuk ke rumah karena takut tiang kayu atapnya runtuh. Setelah air mulai surut, matahari mulai menampakkan sinar, dengan hati-hati kami memasuki rumah. Betapa hebatnya api menghanguskan seluruh isi rumah rata dengan tanah.
Awalnya saya enggan untuk ikut masuk ke dalam rumah ... memasuki rumah yang telah 24 tahun kami tempati, rumah dalam bentuk dan wujudnya yang hangus. Tidak ada waktu untuk meratapi nasib, kami langsung memilah barang-barang yang masih dapat digunakan.
Walaupun yang tersisa hanya baju yang kami kenakan, Puji Tuhan area ruang makan dan dapur bersih, selamat, tak tersentuh oleh api sedikit pun.
Tetangga mulai berdatangan ... mereka membawa handuk, beberapa helai baju ganti, sendal jepit. Ada juga yang datang membawa nasi kuning, sepanci air panas, lengkap dengan teh-kopi-sendok dan gelasnya. Memberi tawaran rumahnya untuk kami beristirahat dan kamar mandinya untuk kami mandi.
Pada saat itu, kami disibukkan dengan memindahkan barang-barang yang selamat ... terlupakan bahwa ada kebutuhan primer sandang papan pangan yang tidak kami miliki lagi.
Saudara, teman, tetangga, semua orang turut prihatin, mengatakan harus sabar, tabah, iklas ... saat itu kami hanya mampu menjawab satu kata iya tanpa meresapinya.
Ada rongga menganga, rasa bersalah, penyesalan ... rasa sesal bukan karena kehilangan barang-barang saya namun ditujukan kepada Papa.
Betapa pilu hati mendengar Papa mengucapkan, "Lemari saya hancur itu ngga apa-apa, tapi lemari anak-anak saya ... buku-buku anak saya ... kenapa saat saya jatuh Tuhan ngga ambil nyawa saya sekalian!"
Mendengar kata-kata Papa itu sungguh menyayat hati, sungguh tak terbayang bagaimana perasaan Papa dengan beban dan tanggung jawab yang harus dia pikul.
Pencapaian hasil kerja Papa selama 32 tahun habis dalam waktu satu jam. Bukannya saya tidak bersyukur atas keselamatan yang Tuhan kasih. Sungguh, rasa syukur tidak pernah habis saya dan keluarga panjatkan. Tapi, tetap saja rasanya agak tidak adil bagi Papa ... jerih payahnya selama ini ... hilang ... menjadi abu.
Selang beberapa hari ... pikiran dan raga kami sudah mulai menyesuaikan, sudah bisa menerima keadaan dengan lapang dada. Dalam waktu kurun seminggu kebutuhan sandang kami sudah memenuhi satu lemari. Sudah lebih dari cukup.
Baju, celana, dalaman, handuk, tas, sepatu, sendal, jam tangan, selimut, peralatan mandi, bed cover, sprei, sampai stock kopi masih terus berdatangan ...
Di situlah saya baru mengerti konsep dari kata "Berserah", ketika sudah menyerahkan segala sesuatu padaNya ... semua tampak lebih ringan untuk dijalani. Ketakutan dalam bayangan semuanya dicerahkan olehNya. Tuhan tidak pernah meninggalkan umatNya yang setia.
Ini penampakan rumah kami ...
Saya berada di samping Mama terus, memegang erat pundaknya, sesekali mengelus. Kami duduk di teras tetangga sambil menyaksikan orang lalu lalang memasuki rumah kami.
Bude dan sepupu saya datang, entah mereka dapat kabar darimana, langsung menghampiri kami berdua. Tak lama, sepupu saya, Ocha menarik saya untuk pergi. Saya tinggalkan Mama dengan Bude. Kami pergi ke Indomaret, untunglah ada yang buka 24 jam, membeli minum, vitamin, dan sendal jepit. Baru tersadar bahwa kami bertiga keluar rumah tanpa alas kaki.
Jam 4 pagi, api sudah padam. Kami masih dilarang masuk ke rumah karena takut tiang kayu atapnya runtuh. Setelah air mulai surut, matahari mulai menampakkan sinar, dengan hati-hati kami memasuki rumah. Betapa hebatnya api menghanguskan seluruh isi rumah rata dengan tanah.
Awalnya saya enggan untuk ikut masuk ke dalam rumah ... memasuki rumah yang telah 24 tahun kami tempati, rumah dalam bentuk dan wujudnya yang hangus. Tidak ada waktu untuk meratapi nasib, kami langsung memilah barang-barang yang masih dapat digunakan.
Walaupun yang tersisa hanya baju yang kami kenakan, Puji Tuhan area ruang makan dan dapur bersih, selamat, tak tersentuh oleh api sedikit pun.
Tetangga mulai berdatangan ... mereka membawa handuk, beberapa helai baju ganti, sendal jepit. Ada juga yang datang membawa nasi kuning, sepanci air panas, lengkap dengan teh-kopi-sendok dan gelasnya. Memberi tawaran rumahnya untuk kami beristirahat dan kamar mandinya untuk kami mandi.
Pada saat itu, kami disibukkan dengan memindahkan barang-barang yang selamat ... terlupakan bahwa ada kebutuhan primer sandang papan pangan yang tidak kami miliki lagi.
Saudara, teman, tetangga, semua orang turut prihatin, mengatakan harus sabar, tabah, iklas ... saat itu kami hanya mampu menjawab satu kata iya tanpa meresapinya.
Ada rongga menganga, rasa bersalah, penyesalan ... rasa sesal bukan karena kehilangan barang-barang saya namun ditujukan kepada Papa.
Betapa pilu hati mendengar Papa mengucapkan, "Lemari saya hancur itu ngga apa-apa, tapi lemari anak-anak saya ... buku-buku anak saya ... kenapa saat saya jatuh Tuhan ngga ambil nyawa saya sekalian!"
Mendengar kata-kata Papa itu sungguh menyayat hati, sungguh tak terbayang bagaimana perasaan Papa dengan beban dan tanggung jawab yang harus dia pikul.
Pencapaian hasil kerja Papa selama 32 tahun habis dalam waktu satu jam. Bukannya saya tidak bersyukur atas keselamatan yang Tuhan kasih. Sungguh, rasa syukur tidak pernah habis saya dan keluarga panjatkan. Tapi, tetap saja rasanya agak tidak adil bagi Papa ... jerih payahnya selama ini ... hilang ... menjadi abu.
Selang beberapa hari ... pikiran dan raga kami sudah mulai menyesuaikan, sudah bisa menerima keadaan dengan lapang dada. Dalam waktu kurun seminggu kebutuhan sandang kami sudah memenuhi satu lemari. Sudah lebih dari cukup.
Baju, celana, dalaman, handuk, tas, sepatu, sendal, jam tangan, selimut, peralatan mandi, bed cover, sprei, sampai stock kopi masih terus berdatangan ...
Di situlah saya baru mengerti konsep dari kata "Berserah", ketika sudah menyerahkan segala sesuatu padaNya ... semua tampak lebih ringan untuk dijalani. Ketakutan dalam bayangan semuanya dicerahkan olehNya. Tuhan tidak pernah meninggalkan umatNya yang setia.
-Don't worry about anything- |
Ini penampakan rumah kami ...
Rumah, lantai 2 |
Rumah, lantai 1 |
Secara pribadi saya mengucapkan terima kasih kepada Sepupu saya Ocha dan Mas Budi, Atasan saya Ambu Sheila Maulita, Teman terdekat Pak Yoga, Sahabat saya Nenci dan Icha serta Riri paketan baju satu dus dari Jakarta, Ari atas HP barunya, keluarga besar Teater Topeng, Temen-temen Maranatha, Temen-temen Veteran Creasion, Temen-temen Santa Maria, Temen-temen Pasca Sarjana STPB, dan Embah yang sudah bersedia menampung kami sekeluarga.
Tuhan memberkati kebaikan kalian semua. Amin!
Untuk sementara, kami tinggal di Rumah Embah. Perum Binaharapan. Jl. Golf Dalam I No 27, Ujung Berung. Bandung.
*